Life..........

Life..........
me.. me.. me

Selasa, 27 September 2011

Run till I finish

by: Artha Vina Pratiwi

Masih jelas teringat di benak saya ketika saya harus merelakan nenek (opung boru) yang paling saya kasihi kembali ke sisiNya. Wajahnya, senyumnya, tangisnya, omelan khas bataknya dan semua hal yang tak akan pernah hilang dari ingatan saya. Ya, dia itu nenek saya, ibu dari ayah saya. Beliau wanita yang sangat cantik, pintar dan amat kuat. Dibalik ketangguhannya sebagai seorang wanita, dia hanya wanita lemah, penuh cinta dan istri yang sangat merindukan suaminya.

Saya bukan cucu perempuan pertama dan saya tidak cukup dekat dengan opung boru saya ini. Yang saya ingat saat saya kecil, opung saya ini galak dan tegas sekali. Dan hal ini yang membuat saya tidak mau dekat dengannya. Tetapi suatu hari, dimasa tuanya, orang tua saya mau mengajarkan anak-anaknya untuk mau lebih mengenal dan dekat dengan opung saya ini, sehingga opung saya ini seringkali tinggal dirumah kami saat itu. Dan disitulah saya mulai “mengenal” dia lebih dalam.

Dan dari situ, saya mengetahui betapa kesepian hatinya selama ini setelah kakek (opung doli) saya meninggal. Seringkali saat saya memberinya susu agar ia tidur atau saat saya hendak memandikannya, saya melihatnya memandang keluar jendela dan sambil menangis dia katakan, “ahh inang (panggilan untuk anak perempuan batak),andai opung domdom (nama kakek saya) masih ada, mungkin ga begini aku, ga sendiri aku...” atau tak jarang juga dia katakan dalam tangisnya, “Bapa (panggilan kakek saya juga), alap ma au..” artinya Bapa, bawalah aku...

Saya mengerti yang dirasakannya. Kerinduan hatinya. Cinta mereka. Perjuangan mereka. Bagaimana mereka membangun semua dari titik nol, jatuh bangun. Terkadang saya merasa bersalah karena tidak bisa mencukupi rasa kasih sayang dan perhatian yang ia butuhkan. Walau tak jarang juga ia tertawa saat kami berbicara, saat dia menasihati saya, saat dia main air waktu saya mandikan, saat kami berbincang ringan waktu saya menyuapinya atau setelah dia memarahi orang yang melirik saya saat kami saya bawa dia dengan kursi rodanya berkeliling rumah. Saya sungguh mengasihinya.

Dari kedua opung saya ini, saya banyak belajar untuk menjadi pribadi yang kuat. Pribadi yang mampu berlari sampai garis akhir yang sudah ditetapkan untuk saya. Pribadi yang mau berjuang walau sekeras apapun badai hidup yang saya akan hadapi. Pribadi yang hemat dan mampu mengelola keuangan karena hidup bukan hanya hari ini. Opung doli saya pernah berkata “unang ho mangutangi dirim” artinya “jangan kau mengutangi diri”. Benar, bukan hanya masalah hutang materi tapi janji lain yang terkadang dikatakan hanya untuk menunjukkan ego diri. Pribadi yang mampu menjaga harga diri dan martabat keluarga tanpa bisa diukur orang lain. Disini saya sungguh diajari betapa harga diri keluarga bukan hanya dari seberapa mampu kita menimbun kekayaan materi tetapi lebih dari itu saat semua anak-anak maju. Ya, semua bukan hanya salah satu atau salah dua.

Dan dikeluarga ini saya belajar untuk mengenal apa itu arti RUN TIL FINISH. Bahwa setiap manusia memiliki kelemahan yang terkadang sulit dikendalikan dirinya sendiri. Bagaimana saat dikecewakan keluarga ini lebih memilih untuk melupakan dan tidak “mengganggu” orang yang mengecewakan hati mereka. Bagaimana saat hati mereka pernah dikecewakan mereka lebih memilih untuk ikhlas dan percaya Tuhan yang akan memulihkan hati yang luka tanpa dendam. Bagaimana mereka terus 'maju' dengan hati yang lapang. Bagaimana opung saya tetap memeluk anak-anaknya dan cucu-cucunya walau kenyataan pahit yang harus mereka telan didalam satu masa transisi hidup anak-anaknya dan cucu-cucunya. Bagaimana opung saya sangat memikirkan kami dengan mempersiapkan segala sesuatunya bukan hanya saat mereka ada di dunia bahkan untuk momen saat mereka tidak ada. Mereka, opung saya yang tetap memilih untuk tetap berdiri teguh membela dan merangkul kami sampai pada akhirnya.