Life..........

Life..........
me.. me.. me

Selasa, 08 November 2011

the giving heart

vin Berbicara mengenai "giving",,, mungkin boring banget!!
Kita tahu saat kita memberi 1 dikasih 9, memberi 1 dikembalikan 100 kali lipat....
Seringkali, kita terjebak dalam perspektif memberi untuk mendapat sesuatu, karena janji yang pernah terucap sebelumnya. Lebih ekstrim, kita memberi untuk membenarkan kesalahan yang telah dilakukan. Singkatnya, cuci dosa. (Jadi berpikir beda kita sama money laundering... huft)
Dunia ini mengenal istilah take and give. Suatu hari saya menantang masalah ini dengan teman sekerja saya, bahwa konsep hidup (terutama seorang Kristiani) seharusnya bukanlah take and give. Ada 2 kepentingan dalam 2 istilah ini. Take berbicara mengenai mengambil (menerima), disini berbicara mengenai kepentingan pihak diri sendiri. Tetapi Give berbicara mengenai memberi, disini ada kepentingan orang lain yang kita bawa.

Saat ini manusia, seringkali hanya memikirkan diri sendiri, kompetisi dalam pekerjaan, sekolah, pacaran, semua dilakukan dan diwajarkan dengan pembenaran untuk bertahan hidup. Tapi tahukah kitab James 4 : 1 sudah mengklaim “What causes fights and quarrels among you? Don’t they come from your desires that battle within you?” (NIV). Hasrat diri sendiri. Kita terbiasa dari kecil untuk menerima. Memikirkan diri sendiri. 
Seorang anak kecil diajarkan untuk menerima, seorang anak kecil dianggap lucu saat dia “mengenggam” kuat (alias pelit) akan apa yang mereka miliki. Saat ayah seorang balita meminta sesuap makanan anaknya, dan anaknya bilang “Tidak, ini milik saya”, sang ibu bahkan sang ayah sendiri hanya tertawa bahkan bangga. Tetapi apakah, tawa yang sama dan rasa bangga yang sama ada saat anak itu melakukan hal yang sama saat dia dewasa? Bolehkah orang tua marah saat anak itu mengulangi hal tersebut saat ia dewasa, padahal mereka yang menanamkan bibit itu saat anaknya kecil? 
Dengan kapasitas tersebut, kemudian anak ini memutuskan untuk menikah dengan sifat kekanak-kanakannya, bukankah ini jadi nightmare untuk sang istrinya kelak? =p
Dalam perspektif memberi, dunia menjadi lebih besar. Kenapa? Kita tahu dimana harta mu disitulah hatimu. Bergerak dari kata-kata ini, kita melihat dengan kita memberi harta kita, kita menaruh hati kita di dunia hidup orang lain. Sehingga dunia kita tidak hanya sebesar yang ada pada kita, tetapi pada orang lain yang kita santuni. Masalahnya memberi saat ini sangat identik dengan uang. Apakah harta kita hanya dilihat dari seberapa besar aset dalam laporan keuangan rumah tangga kita?
Setuju dengan saya, bahwa dalam contoh mengenai perpuluhan tanpa adanya suatu sanksi tertentu saat kita tidak melakukan pun hanya mau mengajarkan agar kita memliki hati yang penuh kemurahan. Sebuah hati yang senang memberi. A giving heart. Yang dititikberatkan oleh Tuhan seringkali adalah masalah sikap hati. A giving heart atau a getting heart?
A giving heart bertolak dari sebuah kapasitas hati yang diproses secara terus menerus. Keluar dari “comfort zone” terbiasa menerima. Dan mencoba dari hal kecil untuk memiliki hati yang senang memberi. A giving heart tidak perlu dengan uang, uang dan uang. A giving heart dapat dimulai di tiap hari dengan memberi pujian kepada Tuhan, orang lain. Memulai memuji perbuatan baik orang lain. A giving heart dimulai dapat dimulai juga dengan memberi doa kepada orang lain. Memulai mendoakan pelayan Tuhan digereja, tidak melulu meminta doa. A giving heart dapat dimulai dengan mengubah konsep hati yang penuh pengampunan. Mengubah perspektif hati untuk tidak mendendam. Tuhan Yesus menganjurkan kita untuk mengampuni, bahkan dalam Doa Bapa Kami yang Dia ajarkan ada kata-kata itu, karena dengan mengampuni kita keluar dari penjara dendam (benih iblis). Mendendam itu seperti minum racun dan berharap orang lain yang mati.

Ubah hati menjadi a giving heart. Dunia akan menjadi lebih luas dengan ketulusan hati yang senang memberi.

Tuhan memberkati.
Avp







Selasa, 27 September 2011

Run till I finish

by: Artha Vina Pratiwi

Masih jelas teringat di benak saya ketika saya harus merelakan nenek (opung boru) yang paling saya kasihi kembali ke sisiNya. Wajahnya, senyumnya, tangisnya, omelan khas bataknya dan semua hal yang tak akan pernah hilang dari ingatan saya. Ya, dia itu nenek saya, ibu dari ayah saya. Beliau wanita yang sangat cantik, pintar dan amat kuat. Dibalik ketangguhannya sebagai seorang wanita, dia hanya wanita lemah, penuh cinta dan istri yang sangat merindukan suaminya.

Saya bukan cucu perempuan pertama dan saya tidak cukup dekat dengan opung boru saya ini. Yang saya ingat saat saya kecil, opung saya ini galak dan tegas sekali. Dan hal ini yang membuat saya tidak mau dekat dengannya. Tetapi suatu hari, dimasa tuanya, orang tua saya mau mengajarkan anak-anaknya untuk mau lebih mengenal dan dekat dengan opung saya ini, sehingga opung saya ini seringkali tinggal dirumah kami saat itu. Dan disitulah saya mulai “mengenal” dia lebih dalam.

Dan dari situ, saya mengetahui betapa kesepian hatinya selama ini setelah kakek (opung doli) saya meninggal. Seringkali saat saya memberinya susu agar ia tidur atau saat saya hendak memandikannya, saya melihatnya memandang keluar jendela dan sambil menangis dia katakan, “ahh inang (panggilan untuk anak perempuan batak),andai opung domdom (nama kakek saya) masih ada, mungkin ga begini aku, ga sendiri aku...” atau tak jarang juga dia katakan dalam tangisnya, “Bapa (panggilan kakek saya juga), alap ma au..” artinya Bapa, bawalah aku...

Saya mengerti yang dirasakannya. Kerinduan hatinya. Cinta mereka. Perjuangan mereka. Bagaimana mereka membangun semua dari titik nol, jatuh bangun. Terkadang saya merasa bersalah karena tidak bisa mencukupi rasa kasih sayang dan perhatian yang ia butuhkan. Walau tak jarang juga ia tertawa saat kami berbicara, saat dia menasihati saya, saat dia main air waktu saya mandikan, saat kami berbincang ringan waktu saya menyuapinya atau setelah dia memarahi orang yang melirik saya saat kami saya bawa dia dengan kursi rodanya berkeliling rumah. Saya sungguh mengasihinya.

Dari kedua opung saya ini, saya banyak belajar untuk menjadi pribadi yang kuat. Pribadi yang mampu berlari sampai garis akhir yang sudah ditetapkan untuk saya. Pribadi yang mau berjuang walau sekeras apapun badai hidup yang saya akan hadapi. Pribadi yang hemat dan mampu mengelola keuangan karena hidup bukan hanya hari ini. Opung doli saya pernah berkata “unang ho mangutangi dirim” artinya “jangan kau mengutangi diri”. Benar, bukan hanya masalah hutang materi tapi janji lain yang terkadang dikatakan hanya untuk menunjukkan ego diri. Pribadi yang mampu menjaga harga diri dan martabat keluarga tanpa bisa diukur orang lain. Disini saya sungguh diajari betapa harga diri keluarga bukan hanya dari seberapa mampu kita menimbun kekayaan materi tetapi lebih dari itu saat semua anak-anak maju. Ya, semua bukan hanya salah satu atau salah dua.

Dan dikeluarga ini saya belajar untuk mengenal apa itu arti RUN TIL FINISH. Bahwa setiap manusia memiliki kelemahan yang terkadang sulit dikendalikan dirinya sendiri. Bagaimana saat dikecewakan keluarga ini lebih memilih untuk melupakan dan tidak “mengganggu” orang yang mengecewakan hati mereka. Bagaimana saat hati mereka pernah dikecewakan mereka lebih memilih untuk ikhlas dan percaya Tuhan yang akan memulihkan hati yang luka tanpa dendam. Bagaimana mereka terus 'maju' dengan hati yang lapang. Bagaimana opung saya tetap memeluk anak-anaknya dan cucu-cucunya walau kenyataan pahit yang harus mereka telan didalam satu masa transisi hidup anak-anaknya dan cucu-cucunya. Bagaimana opung saya sangat memikirkan kami dengan mempersiapkan segala sesuatunya bukan hanya saat mereka ada di dunia bahkan untuk momen saat mereka tidak ada. Mereka, opung saya yang tetap memilih untuk tetap berdiri teguh membela dan merangkul kami sampai pada akhirnya.